
PALANGKA RAYA, KALTENGTERKINI.CO.ID – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menggelar pertemuan dengan seluruh komponen masyarakat Kalteng, masyarakat adat, agama, kepemudaan, mahasiswa, Senin, (16/10/2023).
Tujuan pertemuan tersebut dengan harapan menjaga kondisi Kalimantan Tengah, baik itu karena konflik kepentingan, antara perusahaan dan masyarakat, penanganan karhutla, dan kondisi infrastruktur yang harus diselesaikan secara bertahap dan komprehensif.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran memberi arahan secara daring, untuk selalu menjaga keamanan di Kalimantan Tengah agar selalu kondusif, dalam konteks menyampaikan aspirasi, diharapkan tidak membawa senjata tajam berupa mandau, tombak dan sebagainya.
“Saya mengimbau seluruh masyarakat tidak lagi membawa senjata tajam dalam menyampaikan aspirasi dalam demo, tidak lagi dalam keadaan mabuk, narkoba. Bahkan ada yang membawa bom molotov, dumduman, ini kan tidak dibenarkan sebetulnya,” ucap Gubernur.
Menanggapi hal tersebut Ketua Forum Damang Kalteng Kardinal Tarung, menyatakan bahwa membawa senjata tajam baik dari sisi adat maupun hukum positif itu sepanjang tidak sesuai peruntukannya itu berarti pelanggaran.
“Yang kita bicarakan tadi hubungannya dengan demo, saya setuju ketika demo tidak membawa senjata tajam karena itu bukan acara adat. Di sini saya ingin menegaskan tentang senjata tradisional Dayak, kalau dibawa konteksnya pelaksanaan ritual adat itu tidak melanggar hukum,” kata Kardinal di Aula Jayang Tingang.
Kardinal mengatakan, kalau demo membawa senjata tradisional padahal dalam konteks menyampaikan pendapat, itu tidak diperlukan, karena (peserta aksi) sudah dilindungi oleh undang-undang kebebasan dalam menyampaikan pendapat.
“Sampaikanlah pendapat, dengan pendapat yang rasional, pendapat yang bukan ungkapan emosional. Kami damang juga prihatin apalagi sekarang ada indikator bahwa itu (senjata tradisional) digunakan sebagai show unjuk kebal. Seorang kesatria tidak boleh sombong, tidak boleh teriak dengan nada marah. Jangan sekali-kali melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan perjuangan manggatang utus, lalu dengan label adat,” bebernya.
Kalau sekarang ini akrab di pendengaran kita kata “Hukum adat” Itu dalam artian memudahkan orang-orang mempelajari adat. Sebab kalau hanya “adat” tidak ada disiplin ilmunya, adat merupakan hukum sensitif, hukum kebiasaan dan mustahil diterapkan sama pada tempat berbeda.
“Kalau kita menyebut hukum, maka lakukan sesuai dengan hukum, ungkapan belom bahadat itu mengandung tiga citra sikap yaitu sembah, hormat dan santun. Citra sikap santun berhubungan dengan perilaku dan sikap taat hukum, jadi untuk senjata tradisional harus digunakan konteks yang tepat, membawa mandau pada ritual adat menyambut tamu sah-sah, saja karena untuk memotong pantan,” tambahnya.
Kardinal berharap masyarakat dapat memahami Hukum apa saja entah hukum produk badan peradilan negara, ataupun hukum yang berhubungan dengan kearifan lokal, semuanya tujuannya adalah keadilan. “Nah kalau hukum Dayak itu tujuannya keadilan, tujuan khususnya ada dua, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia dan yang kedua kepada kepercayaan terhadap agama,” tutupnya